Pemerintah boleh bilang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Tapi fakta di lapangan, menunjukkan hal yang sebaliknya. Pemerintah RI dan Israel justru membina hubungan baik dengan Israel. Sebuah pengkhianatan?
Hubungan 'mesra' Indonesia-Israel dimulai sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tahun 1999, Gus Dur merencanakan untuk membuka kembali hubungan perdagangan dengan negeri penjajah itu, yang telah terputus sejak tahun 1967. Rencana itu pun diwujudkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Binsar Pandjaitan pada tahun 2001. Menteri ini menandatangani Surat Keputusan Menperindag No.23/MPP/01/2001 tertanggal 10 Januari 2001 yang melegalkan hubungan dagang antara RI dengan Zionis-Israel.
Kemesraan itu pun terus berlanjut pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 13 September 2005, Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha bertemu dengan Menlu Israel, Silvan Shalom, di New York, AS. Hassan mengaku pertemuan itu tidak membahas pemulihan hubungan diplomatik. "Kami tidak bicara masalah hubungan diplomatik. Israel sangat tahu posisi Indonesia seperti apa," katanya. Saat itu pemberitaan di sejumlah media massa asing ramai menyiarkan keinginan Israel untuk membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia. Menurut media asing itu, Jerusalem (Israel) telah mengirimkan surat tentang hal itu kepada Jakarta.
Zionis mengincar berbagai proyek penting di Indonesia misalnya proyek pembangunan PLT-Geothermal di Sumatera senilai 200 juta dolar yang dimenangkan oleh Ormat Technology, perusahaan engineering Israel di bidang energi geothermal. Selain itu, Indonesia menjadi sasaran pemasaran produk-produk teknologi biomedik.
Seorang dokter bedah Indonesia yang sering bepergian ke medan konflik di seluruh dunia seperti Afghanistan, Irak, Lebanon, Palestina, Somalia, dan lain-lain mengungkapkan banyak peralatan ICU yang ada di rumah-rumah sakit besar di negeri ini dibeli dari Israel. Dalam kaitan itu, lanjutnya, pemerintah Indonesia telah mengirimkan tenaga-tenaga medis Indonesia ke sana untuk pelatihan ICU (Intensive Care Unit). Menurutnya, seperti dikutip eramuslim, rumah-rumah sakit besar yang ada di Indonesia, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sudah lazim mengirim tenaga-tenaga medisnya untuk mendapat pelatihan ICU di Israel.
Selain dunia medis, menurut data yang didapatkan situs tersebut, TNI juga telah melakukan pembelian sejumlah senjata api jenis senapan sniper seperti Galil-Galatz keluaran Israeli Military Industries (IMI) beberapa tahun lalu. Kasus ini pernah mengemuka dan menjadi perdebatan publik beberapa waktu lalu namun isunya menguap begitu saja seiring berjalannya waktu.
Bahkan, menurut Jenderal (Pur) Soemitro dalam memoarnya berjudul, ''Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkaptib,'' menegaskan hubungan yang harmonis antara intelijen Israel, Mossad, dan TNI. Ia menulis: ''David, Raviv, dan Yosi Melman dalam buku mereka Every Spy Prince menulis bahwa Indonesia pernah mengadakan hubungan dengan Mossad. Katanya, Mossad mengirimkan utusan, satu tim dari posnya di Singapura ke Jakarta lalu mengadakan pembicaraan yang berbuah: Pihak Israel menyeleng-garakan latihan buat tentara Indonesia dan intelijennya. Mossad, katanya, telah menganggap pilihan yang bagus, dan intelijen Israel membuka perwakilan-nya di Jakarta dengan 'berwajah dagang'. Indonesia mengirimkan tenaganya ke Israel untuk mendapatkan pelatihan di sana. Saya sendiri tidak pernah punya hubungan langsung dengan pihak Israel, tidak pernah. Paling-paling, saya ingat, saya pernah datang ke Jl Tosari (kalau tidak salah) memenuhi undangan mata rantai Israel yang ada di Jakarta. Yang saya benar-kan waktu itu mengdakan hubungan dengan Israel, dan itu sehubungan dengan penumpasan PKI, adalah intelijen kita. Dalam hal ini Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud, dan Nicklany. Tiga orang ini yang saya izinkan. Kami mengadakan hubungan dengan Mossad dan dengan MI-6 (Inggris). Kedua-duanya amat peka mengenai masalah komunis. Amerika (CIA) kalah dalam hal ini. Apalagi setelah terjadinya Water-gate. Hancur intelijen Amerika waktu itu. Kerja sama Indonesia waktu itu dengan intelijen itu (Mossad dan MI-6) adalah meliputi komunisme, dan itu berjalan baik.”
Sebuah blog intelijen di internet mengungkapkan bahwa saat ini malah intelijen Israel telah masuk ke Indonesia. ''Mereka bergerak tidak dalam jumlah yang besar, tetapi sangat efektif karena beberapa agen yang telah mendapat pelatihan melalui "paket wisata rohani" sehingga bisa masuk Israel. Keberadaan beberapa agen lokal yang telah dilatih tersebut kemudian membina beberapa informan, tanpa si informan tahu untuk siapa sebenarnya dia bekerja, karena yang penting mereka menerima bayaran. Dalam pengamatan saya, jumlah agen Mossad yang aktif di Indonesia hanya sekitar 2-3 orang saja, saling bergantian dan hampir selalu berjalan minimal berdua. Pusat komunikasi dan komando tetap berada di Singapura, lagi pula mereka secara mobile bisa bermarkas di mana saja,'' tulisnya. Tujuan infiltrasi itu, menurutnya, secara umum memang ditargetkan untuk memperoleh pengaku-an atau pembukaan hubungan diploma-tik. Meski Indonesia bukan negara Islam, tetapi pengakuan keberadaan Israel sa-ngatlah penting dan strategis.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa telah ada hubungan yang 'harmo-nis' antara Indonesia dan Israel dengan bungkus di luar masalah diplomatik. Bisa perdagangan, pariwisata atau yang lainnya. Hanya saja hubungan itu disem-bunyikan karena jelas hubungan itu tidak sesuai dengan prinsip bangsa Indonesia khususnya umat Islam yang anti penja-jahan. Bagaimana pun bentuk hubungan itu tidak dapat dibenarkan.
Dalam perkembangannya, prinsip itu dikalahkan oleh mereka yang menjadikan bisnis/uang sebagai segalanya dalam hidup. Para pengkhianat bangsa seakan tak peduli lagi dengan nilai-nilai. Inilah jebakan sukses yang ditanamkan oleh kaum Zionis di negeri ini: menghalalkan segala cara!
Jejak Zionis di Indonesia
Jauh sebelum Indonesia merdeka kaum Zionis sebenarnya telah masuk ke Indonesia. Ridwan Saidi, salah tokoh yang peduli terhadap sejarah Indonesia, dalam bukunya Fakta & Data Yahudi di Indonesia II, menyatakan masuknya Zionis ke Indonesia dibawa oleh kaum Freemansonry. Mereka masuk dengan mendirikan perkumpulan teosofi pada tahun 1875 yang bernama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan teosofi Hindia Belanda).
Karenanya, warga Yahudi sudah ada sejak masa kolonial Belanda, khususnya di Jakarta. Pada abad ke-19 dan 20 sampai menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) -- dua kawasan elite di Batavia kala itu--seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company. Situs swaramuslim menyebutkan, sejumlah kecil pengusaha Yahudi pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya. Jumlah kaum Yahudi ini ratusan. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dianggap keturunan Arab. Apalagi memang banyak di antara mereka yang datang dari Negara Arab karena Negara Israel belum ada. Mereka memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.
Kaum Yahudi ini umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku sebagai warga kincir angin. Tak heran di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan, termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942).
Dalam buku Jejak Freemason & Zionis di Indonesia disebutkan bahwa gedung Bappenas di Taman Surapati dulunya merupakan tempat para anggota Freemason melakukan peribadatan dan pertemuan. Mereka bernyanyi sambil membaca kitab Talmut dan Zabur, dua kitab suci mereka. Menurut Herry Nurdy, penulis buku tersebut, Gedung Bappenas di kawasan elit Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedung-nya, terpampang jelas ketika itu. Anggota Freemason menyebutnya sebagai loji atau rumah syetan. Disebut rumah syetan, karena dalam peribadatannya anggota gerakan ini memanggil arwah-arwah atau jin dan syetan. Dalam buku “Menteng Kota Taman Pertama di Indo-nesia” karangan Adolf Hueken, SJ, disebutkan, awalnya gedung yang kini berperan penting merencanakan pemb-angunan Indonesia itu adalah bekas loge-gebouw, tempat pertemuan mereka. Loge-gebouw atau rumah arloji sendiri adalah sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Jejak mereka juga tampak di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat dengan berbagai gedung pencakar langitnya. Menurut Ridwan Saidi, semasa kolonial Belanda, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Jalan Blavatsky Boulevard. Nama Blavatsky berasal dari nama Helena Blavatsky, seorang tokoh Zionis-Yahudi asal Rusia yang giat mendukung gerakan Freema-sonry. Wanita yang lahir tahun 1875, oleh pusat gerakan Zionis di Inggris, Fremasonry, diutus ke New York. Di sana ia mendirikan perhimpunan kaum Theosofi. Blavatsky dikenal sebagai propagandis utama ajaran Theosofi. Pada tahun 1853, saat perjalanannya dari Tibet ke Inggris, Madame Blavatsky pernah mampir ke Jawa (Batavia). Selama satu tahun di Batavia, ia mengajarkan Theosofi kepada para elit kolonial dan masyarakat Hindia Belanda. Sejak itu, Teosofi menjadi salah satu ajaran yang berkembang di Indonesia. Salah satu ajaran Theosofi yang utama adalah menganggap semua ajaran agama sama. Ajaran ini sangat mirip dan sebangun dengan pemahaman kaum liberal yang ada di Indonesia. Menurut cerita Ridwan Saidi, di era tahun 1950-an, di Jalan Blavatsky Boulevard pernah berdiri sebuah loge atau sinagog. Gedung itu tak lain adalah gedung Indosat. Tak heran jika perusahaan itu dikuasai oleh Singtel, sebuah perusahaan telekomunikasi Yahudi asal Singapura. Bisa jadi sekarang menjadi sinagog lagi.
Selain di Jakarta, kaum Yahudi membangun komunitas di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Khusus di Surabaya, kaum Yahudi membentuk komunitas sendiri di beberapa kawasan kota lama, seperti Bubutan dan Jalan Kayon. Di Jalan Kayon No 4, Surabaya, hingga kini berdiri sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Selama ini gerakan mereka tidak gampang terdeteksi masyarakat karena berkedok yayasan sosial dan amal.
Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu. Yang pasti Yahudi dan jaringan gerakannya sudah lama menancapkan kukunya di Indonesia. Mereka ingin menaklukkan Indonesia, sebagai negeri dengan mayoritas Muslim terbesar. (Ibnu Quwah dari berbagai sumber)
Sumber: Tabloid Suara Islam
0 ocehan:
Posting Komentar